Perfect Afternoon

Aku akan pergi ke sebuah dataran tinggi di kota ini, pergi ke tempat yang dingin dan agak jauh dari hingar bingar kota. Bedanya, kali ini aku tak mengendarai motor sendirian. Ada dia yang menemaniku 🙂 Kita pergi bersama-sama, menuju suatu tempat yang sudah dia rencanakan sebelumnya. Dia bilang, “Kamu bisa melihat indahnya kota dari atas sana, lihat saja nanti”. Aku hanya bisa tersenyum melihat semangatnya mengajakku kesana.

Awal perjalanan kita saling diam, entahlah, mungkin bingung hendak membicarakan apa. Reflek tanganku seketika melingkar di pinggangnya, dan semakin tercium harum parfumnya. Mmm, wangiii. Aku selalu suka pria wangi. Dengan wangi yang tidak berlebihan dan menyengat tentunya. Dan kemudian kita tetap saja saling diam dalam persepsi dan pikiran masing-masing dengan tanganku tetap melingkar di tubuhnya. Dan semakin erat.

Di tengah perjalanan barulah pembicaraan mengalir dengan lancar. Bahkan sesekali aku sempat dibuat tertawa oleh ocehan jayusnya. Sesampainya di bukit, kita duduk diatas rumput, menghadap ke hamparan kota. Rumah-rumah nampak kecil sekali terlihat dari sini, gunung dan awan-awan sungguh terlihat indah. Kita duduk bersisian, aku di sebelah kiri dan dia di sebelah kanan. Membicarakan apapun, tentang apapun. Seringnya aku yang tertawa mendengar cerita-ceritanya, dan sering pula aku terkecoh dengan candaan dia yang kukira serius. Kali lainnya saat aku menikmati pemandangan indah di hadapanku ini, seketika aku sadar, dari ekor mataku terlihat, bahwa aku sedang diperhatikan olehnya. Perlahan aku menengok, kulihat dia dengan segera mengalihkan pandangannya. Lalu aku hanya tersenyum-senyum saja dengan tingkahnya itu.

Tiba-tiba, ketika kita sedang sama-sama diam dan melihat hamparan rumah-rumah kecil di hadapan kita, dia berkata serius, “Aku nyaman duduk di sebelah kamu”. Lantas aku hanya menoleh, seraya bilang, “ehhh?”. Dia bilang, “Iya, dan aku suka mendengar renyah tawamu, makanya aku senang membuatmu tertawa, aku suka wangi parfummu, aku pun suka mendengar suara jelekmu itu”. Saat itu, aku hanya bilang, “Ahahaha, that’s so sweet, thanks anyway :)”, and there’re butterflies in my stomach!

Pulangnya, ketika hendak turun sedikit dari bukit tempat kita duduk menuju parkiran motor, dia meraih tanganku, dan aku diam, lantas membiarkannya menggenggam tanganku. Beberapa detik kemudian barulah aku membalas genggamannya, erat. Kita berjalan bersisian, dia tidak mendahului dan dia tidak ingin didahului. Kita seiring.

Ternyata semesta berkehendak lain, hujan turun sore itu. Membuat kita harus meneduh di sebuah tempat. Untungnya kita berteduh di sebuah warung. Dia memesan teh manis panas yang tidak terlalu manis, dan aku memilih untuk minum kopi panas, juga tidak terlalu manis. Tak hanya tadi saja aku memergokinya sedang melihat ke arahku, entah apa yang sedang dia lihat. Bahkan dia sambil mengusap keningku, karena ada tetesan air hujan yang membasahi rambutku lalu jatuh di keningku. Lalu dia meneruskan minum tehnya. Begitu saja. Memang sebuah sikap tanpa kata-kata, kadang begitu berarti melebihi ratusan bahkan ribuan kata-kata.

You treat me very special 🙂 Walaupun kita sedang meneduh dari rintik hujan, walaupun semesta nampaknya sedang tidak bersahabat dalam perjalanan kita untuk pulang, but that was a perfect afternoon with you 🙂

***

“I took a cup of coffee
While you were drinking your tea
You were staring me and smiled
As if there’s something wrong in me

When we had a conversation, explanations, emotions, and all sensations
And you gave me all your attention to my actions
Oh you treat me very special
Let the sun and it shines be the one that will come in your heart”

Perfect Afternoon – Endah N Rhesa

10 thoughts on “Perfect Afternoon

Leave a reply to shinta Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.